marquee

SUKSESKAN PUNCAK PERINGATAN HARI NUSANTARA TAHUN 2016 >>> 13 Desember 2016, di Pelabuhan Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Rabu, 21 Januari 2015

Kebijakan Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Mulai Diberlakukan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali mengeluarkan kebijakan strategis dengan menerbitkan dua Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMENKP). Kebijakan itu untuk mendukung upaya strategis pemerintah dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Keduanya telah ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2015 dan mulai diberlakukan pada tanggal 9 Januari 2015. Hal itu sebagai bentuk keseriusan KKP dalam mewujudkan komitmennya untuk menata kembali pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia secara bertanggung jawab. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (19/1).

Susi menuturkan, kebijakan itu yakni pembatasan penangkapan tiga spesies perikanan penting yakni Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scyla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) melalui peraturan nomor : 1/PERMEN-KP/2015. Sedangkan peraturan kedua yakni nomor 2/PERMEN-KP/2015 mengatur larangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). “Setiap orang, baik perorangan maupun korporasi diharapkan dapat mematuhi kedua peraturan ini, dan akan ada tindakan tegas dari pemerintah jika terbukti melakukan pelanggaran. Nantinya, kebijakan ini akan diatur dalam petunjuk pelaksanaan lebih lanjut “, ungkap Susi.

Dalam peraturan nomor 1, terdapat lima pasal yang mengatur tentang pembatasan penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan. Dimana, setiap orang dilarang melakukan penangkapan tiga spesies perikanan penting tersebut dalam kondisi bertelur. Penangkapannya diperbolehkan, asalkan tidak dalam kondisi sedang bertelur dan sesuai dengan ukuran minimum yang sudah ditetapkan dalam peraturan. Adapun ukuran yang diperbolehkan yakni Lobster dapat ditangkap dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm, Kepiting di atas 15 cm dan Rajungan dengan ukuran lebar karapas di atas 10 cm. “Pembatasan penangkapan ini dilakukan karena keberadaan dan ketersediaan ketiga spesies itu telah mengalami penurunan yang drastis. Hal ini juga dimaksudkan untuk restocking ekosistem ketiga spesies tersebut “, ujar Susi.

Susi menambahkan, ukuran panjang ketiga spesies tersebut penting untuk diatur dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya. Berdasarkan hasil penelitian, spesies pada ukuran yang boleh ditangkap tersebut harus sudah dewasa dan pernah minimum sekali bertelur atau memijah. Pengaturan ini penting dilakukan dalam rangka mendorong keberlanjutan usaha penangkapan ketiga spesies itu. Bila penangkapan tidak dikendalikan dikhawatirkan akan terjadi penurunan populasi dan dalam jangka panjang akan berdampak negatif bagi mata pencaharian nelayan. “Oleh karena itu, terdapat kewajiban bagi orang yang menangkap lobster, kepiting dan rajungan bertelur dalam keadaan hidup untuk melepaskannya ke laut”, kata Susi.

Sedangkan dalam peraturan nomor 2, ditetapkan ada 8 pasal yang secara tegas melarang penggunaan alat penangkapan ikan jenis Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Trawls atau yang dikenal dengan pukat harimau sudah lama dilarang penggunaannya karena termasuk alat penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Sebagaimana dicantumkan dalam pasal 3, alat tangkap ini terdiri dari pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls) dan pukat dorong. Sementara alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) terdiri dari pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dengan alat penangkapan ikan trawls dan seine nets yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya.

Sementara itu, peraturan nomor 2 ini penting dilakukan mengingat makin menipisnya kondisi sumberdaya perikanan, khususnya di Laut Arafura (WPP RI 718). Berdasarkan peta potensi sumberdaya ikan, wilayah Arafura sudah mengalami gejala tangkap-lebih (overfishing) untuk beberapa spesies ikan demersal. Potensi yang masih memungkinkan dieksploitasi lebih lanjut di WPP 718 tersebut adalah ikan pelagis kecil. Selain konsumsi BBM yang tinggi, kekurangan alat tangkap pukat ini adalah selektivitas yang rendah, yang dapat ditunjukkan dengan tingginya tangkapan sampingan (by catch). Tingginya tangkapan sampingan ini tentu dapat merusak kelestarian sumberdaya. Begitu pula kondisi Laut Jawa yang juga sudah semakin mengalami overfishing, khususnya udang dan pelagis kecil.

Selain masalah ekologis, penggunaan pukat tarik juga sering menimbulkan konflik sosial antar nelayan. Pasca otonomi daerah, semakin banyak nelayan yang memodifikasi alat tangkapnya menjadi alat tangkap yang mirip dengan prinsip kerja trawl. Sejak saat itu, eksploitasi terhadap sumberdaya ikan terjadi secara besar-besaran dan konflik antar nelayan juga terus terjadi, baik di laut Jawa maupun wilayah perairan lainnya. Apa yang terjadi sebelum dikeluarkannya Kepres Nomor 39 Tahun 1980 akhirnya terjadi lagi pasca reformasi. Dengan dilarangnya penggunaan pukat tarik, selanjutnya untuk menangkap ikan-ikan demersal, nelayan didorong untuk menggunakan beberapa jenis Alat Penangkap Ikan (API) yang dikelompokan menjadi tiga jenis. Pertama, kelompok API perangkap seperti bubu, setnet dan jermal. Kedua, kelompok API jaring lingkar seperti trammel net dan liong bun. Kemudian ketiga, kelompok API pancing seperti pancing rawai dasar dan pancing ulur.

KKP memiliki komitmen yang serius untuk menata kembali pengelolaan perikanan dengan tujuan agar kelestarian sumberdaya ikan bisa terwujud dan keberlanjutan usaha perikanan bisa semakin terjamin. Komitmen ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Ke depan semua WPP-RI akan dikelola secara lebih serius dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pembatasan fishing capacity melalui pengaturan jumlah armada atau hari penangkapan. Kedua, pengaturan “time & spatial closure” untuk memberikan kesempatan bagi spesies target pulih, serta ketiga adalah pengaturan selektivitas alat tangkap (sumber:kkp.go.id).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar